BAB I
P E N D A H U L U A N
I.1 Latar Belakang
Ekosistem danau di Indonesia tersimpan kekayaan plasma nutfah yang jumlahnya mencapai 25% plasma nutfah dunia. Selain itu danau sebagai andalan penyediaan air untuk pertanian, sumber air baku masyarakat, perikanan, PLTA, pariwisata dan sebagainya.
Sebagian besar danau-danau tersebut saat ini telah mengalami degradasi. Beberapa faktor penyebab degradasi tersebut antara lain meningkatnya jumlah penduduk, berkembangnya kawasan permukiman dan industri pada daerah tangkapan air dan pembuangan limbah ke perairan danau. Kondisi tersebut telah menimbulkan masalah eutrofikasi, berkurangnya pasokan air, meningkatnya keasaman air danau, sedimentasi, dan terganggunya ekosistem keanekaragaman hayati yang berpotensi menimbulkan bencana atau kelangsungan kehidupan.
Ancaman ekosistem danau akan semakin meningkat akibat pengaruh perubahan iklim global di masa mendatang. Meningkatnya temperatur udara dan berubahnya pola curah hujan akan mempengaruhi ekosistem danau sehingga diperlukan beberapa langkah-langkah strategis guna mempertahankan, melestarikan dan memulihkan fungsi danau berdasarkan keseimbangan ekosistem. Kebijakan strategis tersebut selanjutnya akan diusulkan termuat dalam RPJMN 2010-2014 agar arah dan langkah pembangunan lingkungan hidup nasional yang menyangkut keberlangsungan ekosistem danau dapat menjadi prioritas pemerintah.
I.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa itu ekosistem danau.
2. Untuk mengetahui system pengelolaan danau diindonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Danau
Danau diefenisikan sebagai perairan stagnan (tenang) yang terisolasi dari laut. Danau adalah suatu badan air yang mengenang dan luasnya mulai dari beberapa meter persegi hingga ratusan persgegi. Danau merupakan suatu daratn yang cekung (basain) yang digenangi air yang cukup banyak. Air yang menggenangi danau bisa berasal dari mata air, air tanah, air sungai yang berpelepasan atau bermuara di danau tersebut atau juga berasal dari air hujan.
II.2 Fungsi Ekosistem Danau
Beberapa fungsi penting ekosistem danau sebagai berikut :
1. Sebagai sumber plasma nuftah yang berpotensi sebagai penyumbang bahan genetic.
2. Sebagai tempat berlangsungnya siklus hidup jenis flora/fauna yang penting.
3. Sebagai sumber air yang dapat digunakan langsung oleh masyarakat sekitarnya (rumah tangga, industri dan pertanian)
4. Sebagai tempat penyimpanan kelebihan air yang berasal dari air hujan,aliran permukaan, sungai – sungai atau dari sumber – sumber air bawah tanah.
5. Memelihara iklim mikro dimana keberadaan ekosistem danau dapat mempengaruhi kelembapan dan tingkat curah hujan setempat.
6. Sebagai sarana transportasi untuk memindahkan hasil – hasil pertanian dari suatu tempat ke tempat yang lain.
7. Sebagai penghasil energy listrik melalui PLTA.
8. Sebagai objek wisata.
Selain itu ekosistem danau juga menawarkan 2 hal, yaitu :
1. Sebagai sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestic maupun industri.
2. Sebagai system pembuangan yang memadai dan paling murah.
II.3 Pembagian Danau
1. Berdasarkan proses terjadinya, danau di bagi atas :
a. Danau Tektonik yaitu danau yang terjadi akibat adanya peristiwa tektonik seperti gempa. Contohnya danau Poso, danau Tempe, danau Towuti di Sulawesi, danau Singkarak, danau Maninjau dan danau Takengon di Sumatera.
b. Danau Vulkanik atau Danau Kawah yaitu danau yang terdapat pada kawah lubang kepunden bekas letusan gunung berapi. Contohnya danau Kelimutu di Flores, danau Kawah Bromo, danau Gunung Lamongan di Jawa Timur, danau Batur di Bali, danau Kerinci di Sumatera Barat serta Kawah Gunung Kelud.
c. Danau Tektonik-Vulkanik yaitu danau yang terjadi akibat proses gabungan antara proses vulkanik dengan prose tektonik. Contohnya danau Toba di Sumatera Utara.
d. Danau Karst yaitu danau yang terbentuk akibat adanya erosi atau peleburan batuan kapur.
e. Danau Glasial yaitu danau yang terjadi kaibat pencairan es. Contoh danau jenis ini terdapat di perbatasan Amerika dan Kanada.
f. Waduk atau Bendungan yaitu danau yang sengaja dibuat oleh manusia. Contohnya Siguling, Citarung, dan Jatiluhur di Jawa Barat, Riam Kanan dan Riam Kiri di Kalimantan Selatan, Rawa Pening, Kedung Ombo, dan Gajah Mungkur di Jawa Tengah.
2. Berdasarkan penetrasi cahaya matahari, yaitu :
a. Daerah Fotik yaitu daerah yang dapat ditembus cahaya matahari sehingga terjadi fotosintesis.
b. Daerah Afotik yaitu daerah yang tidak tertembus cahaya matahari disebut daerah afotik.
3. Berdasarkan daerah perubahan temperatur yang drastis atau termoklin. (suhu), yaitu :
a. Epilimnion yaitu lapisan atas, suhu relative konstan karena adanya angin dan gelombang.
b. Termoklin/metalimnion yaitu bagian tengah dimana perubahan suhu besar, kedalaman berubah 1 meter suhu turun 1 oC.
c. Hipolimnion yaitu bagian dasar suhu sangat rendah karena masa air yang tenang/stagnan.
4. Berdasarkan Komunitas tumbuhan dan hewan tersebar di danau sesuai dengan kedalaman dan jaraknya dari tepi danau dibagi menjadi 4 daerah sebagai berikut :
a. Daerah litoral
Daerah ini merupakan daerah dangkal. Cahaya matahari menembus dengan optimal. Air yang hangat berdekatan dengan tepi. Tumbuhannya merupakan tumbuhan air yang berakar dan daunnya ada yang mencuat ke atas permukaan air.
Komunitas organisme sangat beragam termasuk jenis-jenis ganggang yang melekat (khususnya diatom), berbagai siput dan remis, serangga, krustacea, ikan, amfibi, reptilia air dan semi air seperti kura-kura dan ular, itik dan angsa, dan beberapa mamalia yang sering mencari makan di danau.
b. Daerah limnetic
Daerah ini merupakan daerah air bebas yang jauh dari tepi dan masih dapat ditembus sinar matahari. Daerah ini dihuni oleh berbagai fitoplankton, termasuk ganggang dan sianobakteri. Ganggang berfotosintesis dan bereproduksi dengan kecepatan tinggi selama musim panas dan musim semi.
Zooplankton yang sebagian besar termasuk Rotifera dan udang-
udangan kecil memangsa fitoplankton. Zooplankton dimakan oleh ikan-ikan kecil. Ikan kecil dimangsa oleh ikan yang lebih besar, kemudian ikan besar dimangsa ular, kura-kura, dan burung pemakan ikan.
c. Daerah profundal
Daerah ini merupakan daerah yang dalam, yaitu daerah afotik danau. Mikroba dan organisme lain menggunakan oksigen untuk respirasi seluler setelah mendekomposisi detritus yang jatuh dari daerah limnetik. Daerah ini dihuni oleh cacing dan mikroba.
d. Daerah bentik
Daerah ini merupakan daerah dasar danau tempat terdapatnya bentos dan sisa-sisa organisme mati.
5. Berdasarkan produksi materi organik-nya,dikelompokan sebagai berikut:
a. Danau Oligotropik
Oligotropik merupakan sebutan untuk danau yang dalam dan kekurangan makanan, karena fitoplankton di daerah limnetik tidak
produktif. Ciricirinya, airnya jernih sekali, dihuni oleh sedikit organisme, dan di dasar air banyak terdapat oksigen sepanjang tahun.
b. Danau Eutropik
Eutropik merupakan sebutan untuk danau yang dangkal dan kaya akan kandungan makanan, karena fitoplankton sangat produktif. Ciri-cirinya adalah airnya keruh, terdapat bermacam-macam organisme, dan oksigen terdapat di daerah profundal.
Danau oligotrofik dapat berkembang menjadi danau eutrofik akibat adanya materi-materi organik yang masuk dan endapan. Perubahan ini juga dapat dipercepat oleh aktivitas manusia, misalnya dari sisa-sisa pupuk buatan pertanian dan timbunan sampah kota yang memperkaya danau dengan buangan sejumlah nitrogen dan fosfor. Akibatnya terjadi peledakan populasi ganggang atau blooming, sehingga terjadi produksi detritus yang berlebihan yang akhirnya menghabiskan suplai oksigen di danau tersebut. Pengkayaan danau seperti ini disebut "eutrofikasi". Eutrofikasi membuat air tidak dapat digunakan lagi dan mengurangi nilai keindahan danau.
BAB III
P E M B A H A S A N
III.1 Pengelolaan Ekosistem Danau
Di dalam pengelolaan ekosistem danau perlu dikembangkan peraturan perundangan dan upayaupaya sebagai berikut:
a. Penyusunan kriteria danau prioritas nasional.
b. Penetapan danau prioritas nasional untuk jangka waktu pendek, menengah dan panjang.
c. Penataan ruang yang sesuai dengan daya dukung lingkungan danau dan daya tampung beban pencemaran air.
d. Penentuan batas danau dan batas sempadan danau.
e. Status kepemilikan lahan sempadan danau.
f. Perencanaan jenis dan zone pemanfaatan lahan sempadan danau.
g. Pembuatan bangunan pengendali limpasan, erosi dan penahan sedimen.
h. Pembuatan bangunan konservasi, rehabilitasi DAS kritis.
i. Pembuatan bangunan pengatur tata air danau dan pengendali banjir.
j. Pembuatan bangunan pendaya gunaan dan pemanfaatan air, pengambilan air dan pembangkit tenaga listrik.
k. Pembuatan Instalasi pengolah limbah
l. Pemanfaatan eceng gondok
III.2 Pemanfaatan Sumber Daya Air Danau
Adapun pemanfaatan sumber daya air danau adalah sebagai berikut :
a. Melakukan kajian daya dukung lingkungan DTA danau
b. Melakukan kajian terhadap neraca air dan proyeksinya.
c. Pemanfaatan sumber daya air danau perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
d. Pengaturan perizinan pemanfaatan air yang memperhatikan fungsi dan daya dukung danau.
III.3 Pengembangan Sistem Monitoring, Evaluasi Dan Informasi Danau
Terbatasnya data dasar mengenai danau-danau di Indonesia menyebabkan terbatasnya informasi dan perencanaan pengelolaan ekosistem danau. Selain itu meningkatnya eutrofikasi, alga blooming dan pertumbuhan masal gulma air, arus balik dan pencemaran di perairan danau telah menimbulkan menurunnya kualitas air danau sehingga terjadi kematian massal ikan. Untuk itu perlu dilakukan:
a. Inventarisasi dan penyusunan database ekosistem danau.
b. Penyusunan atlas ekosistem danau Indonesia.
c. Pembangunan sistem informasi ekosistem danau.
d. Pembangunan sistem informasi peringatan dini kerusakan ekosistem danau yang handal dan efisien
III.4 Langkah-Langkah Adaptasi Dan Mitigasi Perubahan Iklim
Antisipasi perubahan iklim terhadap kerusakan ekosistem danau dapat dilakukan berbagai langkah upaya sebagai berikut:
1. Adaptasi yaitu:
a. Pengendalian banjir dengan konservasi hutan dan lahan di DTA Danau.
b. Meningkatkan kapasitas penyerapan air.
c. Mengendalikan fluktuasi debit dengan upaya struktural dan non structural.
d. Membangun sarana prasarana sistem irigasi hemat air dan waduk lapangan.
e. Pengembangan teknologi baru dalam irigasi dan varietas unggul yang hemat air.
f. Pengelolaan risiko bencana (analisis risiko bencana, sistem peringatan dini, sistem evaluasi dan monitoring).
g. Kampanye hemat air.
h. Pengendalian tata ruang.
i. Penggunaan sumber daya air yang efisien diwaktu musim kemarau.
j. Prediksi iklim yang handal dan akurat.
2. Mitigasi, yaitu:
a. Mengatur air pada lahan gambut dan mengurangi risiko kebakaran hutan dan lahan
b. Konservasi lahan basah.
c. Penghijauan dan reboisasi.
d. Pembuatan system resapan
III.5 Peningkatan Kapasitas, Kelembagaan Dan Koordinasi
a. Penetapan kewenangan dan kejelasan pengelolaan danau di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan DTA dan nilai strategis danau.
b. Pengembangan forum komunikasi danau yang berintegrasi dengan forumforum lain yang terkait.
c. Pengkajian pembentukan asosiasi kabupaten/kota yang memiliki danau di Indonesia dalam pengelolaan danau.
d. Pelatihan pengelolaan danau untuk tenaga staf dan teknisi serta tenaga praktisi danau.
III.6 PENINGKATAN PERAN MASYARAKAT
Masyarakat yang tinggal di sekitar danau atau sumber kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya danau, perlu dibina agar tidak merusak lingkungannya.
a. Pelibatan masyarakat sekitar danau dalam upaya rehabilitasi danau.
b. Kegiatan budidaya ikan lebih diprioritaskan bagi masyarakat yang tinggal disekitar danau.
c. Masyarakat pembudidaya ikan danau diberdayakan dengan teknologi KJA ramah lingkungan.
d. Pengembangan perikanan tangkap di danau untuk mengatasi eutrofikasi, antara lain ikan bandeng. Menguntungkan nelayan dan pembudidaya ikan karena pertumbuhan ikan lebih cepat dari pada di tambak.
e. Pengembangan pariwisata dan festival danau untuk memasyarakatkan kelestarian danau dan meningkatkan nilai ekonominya.
III.7 PENDANAAN BERKELANJUTAN
Danau dan lingkungan disekitarnya dimanfaatkan untuk kesejahteran penduduk, yang pengembangannya memerlukan sumber pendanaan. Sumber pendanaan tersebut dapat dikembangkan dari beberapa sumber, yaitu:
a. APBN: mengalokasikan dana untuk pengelolaan danau sesuai dengan prioritas dan pentahapannya.
b. APBD: mengalokasikan anggaran daerah yang memiliki danau berdasarkan prioritas sesuai dengan potensi pemanfaatan danau dan tingkat kerusakannya.
c. BLN: mengembangkan kerjasama luar negeri dengan lembagalembaga internasional untuk memperoleh dana hibah yang berupa bantuan tenaga ahli dan peralatan pemantauan danau maupun kegiatan fisik konservasi danau.
d. Partisipasi masyarakat: Masyarakat sekitar danau berpartisipasi menjaga kelestarian danau dengan upaya pengendalian pencemaran dan pencegahan kerusakan lingkungannya, khususnya limbah penduduk.
e. Kontribusi pengusaha pemanfaat sumber daya air danau: pemanfaat sumber daya air danau, antara lain penggunaan air danau, aliran air danau dan tenaga air harus memberikan kontribusinya bagi konservasi danau dan lingkungannya.
BAB IV
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembhasan dari bab ke bab, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah :
1. Ekosistem danau merupakan sumber kekyaan plasma nuftah yang jumlahnya mencapai 25 % plasma nuftah didunia.
2. Danau merupakan sumber perekonomian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan danau.
3. Karena danau merupakan suatu ekosistem sehingga perlu dijaga keseimbangan ekologinya.
4. Ekosistem danau perlu dijaga dan lakukan pengelolaan yang baik dan terstruktur guna kelangsungan ekosistem dan manusia.
B. Saran
Saran yang perlu disampaikan adalah kita sebagai manusia perlu melestarikan dan melindungi ekosistem danau guna kelangsungan hidup anak cucu kita.
Sumber :Berbagai Sumber
Blog ini berisi mengenai informasi yang berhubungan Perikanan dan Ilmu Kelautan, Parawisata, Informasi Lainnya.
Selasa, 07 Juni 2011
Produktivitas Komunitas Lamun
BAB I
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang sudah menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam air laut. Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir dan sering pula dijumpai hidup pada terumbu karang. Kadang-kadang lamun membentuk komunitas yang lebat sehingga merupakan padang lamun yang cukup luas (seagrass bed). Dasar habitat padang lamun adalah perairan yang dangkal, cerah serta memiliki substrat yang lunak, serta diperlukan adanya sirkulasi air yang membawa bahan nutrien dan sisa-sisa metabolisme.
Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan dangkal dan jernih pada kedalaman antara 2 – 12 m, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar dari daerah padang lamun. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.
Selain ekosistem terumbu karang, sebagian ekosistem yang sangat erat kaitannya dengan terumbu karang terdapat ekosistem padang lamun. Biasanya ekosistem ini berada bersebelahan dengan terumbu karang dan merupakan penyangga ekosistem terumbu karang serta sebagai tempat asuhan, tempat mencari makan, dan tempat pemijahan bagi beberapa jenis ikan dan biota laut lainnya.
Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah :
1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir
2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang
3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung
4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan
5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif
6. Mampu hidup di media air asin
7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
B. Seagrass Ekosistem yang terabaikan
Sering dapat dilihat hamparan hijau pada dasar laut di pinggir pantai yang menyerupai padang rumput hijau, yang tidak lain adalah padang-lamun atau yang populer dikenal dengan seagrass. Seagrass adalah tempat hidup bagi banyak organisme, seperti ikan, kepiting, udang, lobster, seaurchin (bulu babi), dan lainnya. Sebagian besar organisma pantai (ikan, udang, kepiting dll) mempunyai hubungan ekologis dengan habitat lamun. Sebagai habitat yang ditumbuhi berbagai spesies lamun, padang lamun memberikan tempat yang sangat strategis bagi perlindungan ikan-ikan kecil dari "pengejaran" beberapa predator, juga tempat hidup dan mencari makan bagi beberapa jenis udang dan kepiting.
C. Seagrass bukan "rumput laut"
Habitat Lamun atau yang lebih di kenal dengan kata seagrass merupakan habitat pantai yang sangat unik. dengan di tumbuhi oleh lamun (golongan macrophyte) yang dapat beradaptasi dengan kondisi pantai yang labil, tumbuhan lamun memebrikan amat sanagt banyak fungsi ekologis bagi organisma yang berasosiasi dengannya. Banyak organisme yang secara ecologis dan biologis sangat tergantung pada keberadaan lamun. Banyak orang awam mengenal kata seagrass sebagai "rumput laut" yang konotasinya ke arah seaweed. Namun jika dirunut lebih jauh tentang kedua tumbuhan ini akan sangat jauh perbedaanya. Sebagai tumbuhan sejati, seagrass merupakan tumbuhan yang mempunyai akar (Ryzome dan serabut akar), batang, daun, bunga dan beberapa spesies berbuah. Berbeda dengan seaweed yang merupakan alga besar (Macro-alga) yang tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Sebagai tumbuhan tingkat tinggi, seagrass mempunyai sistem reproduksi dan pertumbuhan yang khas.
Seperti layaknya padang rumput, seagrass dapat menyebar dengan perpanjangan ryzome (batang akar). Penyebaran seagrass terlihat sedikit unik dengan pola penyebaran yang sangat tergantung pada topografi dasar pantai, kandungan nutrient dasar perairan (substrate) dan beberapa faktor fisik dan kimia lainnya. Kadang terlihat pola penyebaran yang tidak merata dengan kepadatan yang relative rendah dan bahkan terdapat semacang ruang-ruang kosong di tengah padang lamun yang tidak tertumbuhi oleh lamun. Kadang-kadang terlihat pola penyebaran yang berkelompok-kelompok, namun ada juga pola penyebaran yang merata tumbuh hampir pada seluruh garis pantai landai dengan kepadatan yang sedang dan bahkan tinggi.
Berbeda dengan seaweed, yang umunnya sangat memerlukan benda keras di dasar perairan sebagai susbtrat untuk melekat. namun memang ada juga banyak yang tumbuh dan menyebar secara alami dengan substrat dasar yang lunak.
BAB II
TENTANG KOMUNITAS LAMUN
A. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun
Lamunmerupakan tumbuhan berbunga. Sebagai tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun secara struktural dan fungsional memiliki kesamaan dengan tumbuhan daratan.
Lamun memiliki akar rhizoma yang kuat. Akar ini berfungsi sebagai jangkar dan penyerap nutrien dari substrat. Semua lamun memproduksirambut akar, kelimpahan rambut akar ini bervariasi pada setiap spesies.
Lamun memiliki daun-daun tipis memanjang seperti pita yang mempunyai saluran-saluran air. Bentuk daun seperti ini memaksimalkan difusi gas dan nutrien antar daun dan air jug amemaksimalkan proses fotosintesis di permukaan daun.
Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu tmbuhan hanya ada bunga jantan saja atau betina saja. Sistem pembiakan lamun melalui penyerbukan di dalam air., selain itu lamun mampu berkembang biak secara vegetatif melalui akar rhizoma dan pertumbuhan batang tegak baru.
B. Klasifikasi dan Sebaran Lamun
Di Indonesia sampai saat ini tercatat ada 12 spesies lamun. Kedua belas jenis lamun ini tergolong pada tujuh genus. Ketujuh genus ini terdiri dari tiga genus dari famili Hidrocharitaceaeyaitu Enhalus, Thalassia dan Halophila dan empat genus dari famili Potamogetonaceae yaitu Syringodium, Cymodocea, Halodule dan Thalassodendron.
Lamun tumbuh di perairan dangkal di daerah intertidal, namun mereka tampak sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesiesnya lebih banyak terdapat di daerah tropik daripada di daerah ugahari.
Dari 12 genus lamun di dunia, 7 genus merupakan lamun tropis yaitu : Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule, Cymodocea, Syringodium, Thalassodendron dan 5 genus lamun subtropis yaitu : Zostera, Phillospadix, Heterozostera, Posidonia, Amphibolis. Dari 7 genus lamun tersebut, terdapat beberapa yang mampu hidup sapai pada daerah subtropis bahkan di daerah ugahari, yaitu Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium, dan beberapa mampu hidup terbatas hanya pada daerah subtropisyaitu Cymodocea nodosa, Cymodocea angustata dan Thalassodendron pachirhizum.
C. Komunitas Padang Lamun
Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup dalam daerah atau habitat fisik tertentu, hal tersebut merupakan satuan yang terorganisir sedemikian sehingga komunitas biotik tersebut mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai suatu unit melalui transfer metabolik yang bergandengan.
Ada lima karakteristik yang memebentuk komunitas yang dapat dipelajari dan diukur yaitu :
1. Keanekaragaman jenis.
2. Bentuk dan struktur pertumbuhan.
3. Dominansi.
4. kelimpahan jenis.
5. struktur tropik.
Keanekaragaman adalah suatu keragaman atau perbedaan diantara anggota-anggota suatu kelompok. Suatu populasi mungkin beragam dari struktur umur, fase perkembangan atau dari segi genetik individu-individu penyusunnya. Dalam ekologi, keanekaragaman biasanya mengarah pada keanekaragaman jenis. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman tinggi jika terdapat jenis yang melimpah secara merata. Jika komunitas disusun dari sejumlah kecil jenis yang melimpah maka keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut rendah.
Kemerataan disebut juga sebagai keseimbangan dari komposisi individu tiap jenis. Jika kemerataan mendekati minimum maka dalam komunitas tersebut terjadi dominansi jenis. Sebaliknya jika kemerataan mendekati maksimum maka komunitas tersebut memiliki kondisi yang relatif stabil.
Diantara organisme-organisme pembentuk komunitas, hanya beberapa jenis yang memperlihatkan pengendalian nyata dalam memfungsikan keseluruhan komunitas. Kepentingan organisme dalam komunitas tidak ditentukan oleh posisi taksonominya, tetapi oleh jumlah, ukuran, produksi dan hubungan lainnya. Tingkat kepentingan jenis biasanya dinyatakan dengan indeks dominansi. Jenis dominan mengendalikan struktur dan komposisi jenis dari suatu komunitas dengan mempengaruhi faktor-faktor kimia dan fisika seperti temperatur, ketersediaan cahaya dan nutrien. Hilangnya jenis dominan akan menimbulkan perubahan-perubahan penting, tidak hany apada komunitas biotik tapi berpengaruh juga pada lingkungan fisik.
D. Karakteristik Ekologi Lamun
1. Suhu
Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun (Brouns dan Hiejs 1986; Marsh et al. 1986; Bulthuis 1987). Marsh et al. (1986) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 25 – 30°C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35°C.
Pengaruh suhu juga terlihat pada biomassa Cymodocea nodosa, dimana pola fluktuasi biomassa mengikuti pola fluktuasi suhu (Perez dan Romero 1992). Penelitian yang dilakukan Barber (1985) melaporkan produktivitas lamun yang tinggi pada suhu tinggi, bahkan diantara faktor lingkungan yang diamati hanya suhu yang mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas tersebut. Pada kisaran suhu 10¬-35°C produktivitas lamun meningkat dengan meningkatnya suhu.
2. Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar (Zieman, 1986). Ditambahkan bahwa Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 °°/o, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 °°/0.
Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis Amphibolis antartica biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemukan pada salinitas 42,5 °°/o. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun (Walker 1985).
Berbeda dengan hasil penelitian tersebut di atas, Mellors et al. (1993) dan Nateekarnchanalarp dan Sudara (1992) yang melakukan penelitian di Thailand tidak menemukan adanya pengaruh salinitas yang berarti terhadap faktor-faktor biotik lamun.
3. Kekeruhan
Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya.
Erftemeijer (1993) mendapatkan intensitas cahaya pada perairan yang jernih di Pulau Barang Lompo mencapai 400 u,E/m2/dtk pada kedalaman 15 meter. Sedangkan di Gusung Tallang yang mempunyai perairan keruh didapatkan intensitas cahaya sebesar 200 uJ3/m2/dtk pada kedalaman 1 meter.
Pada perairan pantai yang keruh, maka cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun (Hutomo 1997). Hamid (1996) melaporkan adanya pengaruh nyata kekeruhan terhadap pertumbuhan panjang dan bobot E. acoroides.
4. Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997).
Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Brouns dan Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan tertinggi E. acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi. Selain itu di Teluk Tampa Florida ditemukan kerapatan T. testudinwn tertinggi pada kedalaman sekhar 100 cm dan menurun sampai pada kedalaman 150 cm (Durako dan Moffler 1985).
5. Nutrien
Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi faktor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih (Hutomo 1997).
Unsur N dan P sedimen berada dalam bentuk terlarut di air antara, terjerap/dapat dipertukarkan dan terikat. Hanya bentuk terlarut dan dapat dipertukarkan yang dapat dimanfaatkan oleh lamun (Udy dan Dennison 1996). Dihambahkan bahwa kapasitas sedimen kalsium karbonat dalam menyerap fosfat sangat dipengaruhi oleh ukuran sedimen, dimana sedimen hahis mempunyai kapasitas penyerapan yang paling tinggi.
Di Pulau Barang Lompo kadar nitrat dan fosfet di air antara lebih besar dibanding di air kolom, dimana di air antara ditemukan sebesar 45,5 uM (nitrat) dan 7,1118 uM (fosfet), sedangkan di air kolom sebesar 21,75 uM (nitrat) dan 0,8397 uM (fosfet) (Noor et al 1996).
Penyerapan nutrien oleh lamun dilakukan oleh daun dan akar. Penyerapan oleh daun umumnya tidak terlalu besar terutama di daerah tropik (Dawes 1981). Penyerapan nutrien dominan dilakukan oleh akar lamun (Erftemeijer 1993).
Mellor et al. (1993) melaporkan tidak ditemukannya hubungan antara faktor biotik lamun dengan nutrien kolom air.
6. Substrat
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Di Indonesia padang lamun dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang (Kiswara 1997). Sedangkan di kepulauan Spermonde Makassar, Erftemeijer (1993) menemukan lamun tumbuh pada rataan terumbu dan paparan terumbu yang didominasi oleh sedimen karbonat (pecahan karang dan pasir koral halus), teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terrigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus terrigenous. Selanjutnya Noor (1993) melaporkan adanya perbedaan penting antara komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa.
Tipe substrat juga mempengaruhi standing crop lamun (Zieman 1986). Selain itu rasio biomassa di atas dan dibawah substrat sangat bervariasi antar jenis substrat. Pada Thalassia, rasio bertambah dari 1 : 3 pada lumpur halus menjadi 1 : 5 pada lumpur dan 1 : 7 pada pasir kasar (Burkholder et al. 1959 dalam Zieman 1986).
BAB III
MANFAAT DAN PRODUKTIVITAS LAMUN
A. Manfaat Lamun
Padang lamun memiliki fungsi ekologis dan nilai ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Menurut Nybakken (1988), fungsi ekologis padang lamun adalah:
1. Sumber utama produktivitas primer.
2. Sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus.
3. Penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sediment (trapping sediment).
4. Tempat berlindung bagi biota laut.
5. Tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut.
6. Pelindung pantai dengan cara meredam arus.
7. Penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan.
Nilai ekonomi dan ekologi padang lamun (manfaat ekonomi total), terkait dengan biota yang hidupnya tergantung dengan ekosistem padang lamun sebesar U$ 412.325 per ha per tahun atau 11,3 milyar rupiah per hektar per tahun (Fortes, 1990). Terdapat hingga 360 spesies ikan (seperti ikan baronang), 117 jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45 jenis ekinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung oleh ekosistem padang lamun di Indonesia. Disamping itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan.
B. Produktivitas Lamun
Beberapa peneliti melaporkan bahwa produktivitas primer komunitas lamun mencapai lebih dari 1 kg C/m2/th. Bahkan menurut Mc Roy dan Mc Milan (1977) produktivitas primer untuk spesies – spesies tertentu di daerah yang sangat subur dapat mencapai 6.825 g C/m2/th. Produksi tersebut umumnya bersumber dasar (below ground) dan atas (above ground). Produktivitas primer yang berasal dari dasar, yaitu akar dan rizhoma, memberikan sumbangan yang cukup tinggi yaitu sekitar 2 – 36 % dari total produksi tanaman atau sekitar 10 – 40 % pada padang lamun yang sudah jadi (mature). Demikian pula untuk total biomasanya, komponen dasar bisa memberikan sumbangan sekitar 30 – 75 %.
Sumber : Dari Berbagai Sumber
P E N D A H U L U A N
A. Latar Belakang
Lamun merupakan tumbuhan berbunga yang sudah menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam air laut. Lamun hidup di perairan dangkal yang agak berpasir dan sering pula dijumpai hidup pada terumbu karang. Kadang-kadang lamun membentuk komunitas yang lebat sehingga merupakan padang lamun yang cukup luas (seagrass bed). Dasar habitat padang lamun adalah perairan yang dangkal, cerah serta memiliki substrat yang lunak, serta diperlukan adanya sirkulasi air yang membawa bahan nutrien dan sisa-sisa metabolisme.
Lamun umumnya membentuk padang lamun yang luas di dasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang memadai bagi pertumbuhannya. Lamun hidup di perairan dangkal dan jernih pada kedalaman antara 2 – 12 m, dengan sirkulasi air yang baik. Air yang bersirkulasi diperlukan untuk menghantarkan zat-zat hara dan oksigen, serta mengangkut hasil metabolisme lamun ke luar dari daerah padang lamun. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari substrat berlumpur sampai berbatu. Namun padang lamun yang luas lebih sering ditemukan di substrat lumpur berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove dan terumbu karang.
Selain ekosistem terumbu karang, sebagian ekosistem yang sangat erat kaitannya dengan terumbu karang terdapat ekosistem padang lamun. Biasanya ekosistem ini berada bersebelahan dengan terumbu karang dan merupakan penyangga ekosistem terumbu karang serta sebagai tempat asuhan, tempat mencari makan, dan tempat pemijahan bagi beberapa jenis ikan dan biota laut lainnya.
Ekosistem padang lamun memiliki kondisi ekologis yang sangat khusus dan berbeda dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Ciri-ciri ekologis padang lamun antara lain adalah :
1. Terdapat di perairan pantai yang landai, di dataran lumpur/pasir
2. Pada batas terendah daerah pasang surut dekat hutan bakau atau di dataran terumbu karang
3. Mampu hidup sampai kedalaman 30 meter, di perairan tenang dan terlindung
4. Sangat tergantung pada cahaya matahari yang masuk ke perairan
5. Mampu melakukan proses metabolisme secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air termasuk daur generatif
6. Mampu hidup di media air asin
7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik.
B. Seagrass Ekosistem yang terabaikan
Sering dapat dilihat hamparan hijau pada dasar laut di pinggir pantai yang menyerupai padang rumput hijau, yang tidak lain adalah padang-lamun atau yang populer dikenal dengan seagrass. Seagrass adalah tempat hidup bagi banyak organisme, seperti ikan, kepiting, udang, lobster, seaurchin (bulu babi), dan lainnya. Sebagian besar organisma pantai (ikan, udang, kepiting dll) mempunyai hubungan ekologis dengan habitat lamun. Sebagai habitat yang ditumbuhi berbagai spesies lamun, padang lamun memberikan tempat yang sangat strategis bagi perlindungan ikan-ikan kecil dari "pengejaran" beberapa predator, juga tempat hidup dan mencari makan bagi beberapa jenis udang dan kepiting.
C. Seagrass bukan "rumput laut"
Habitat Lamun atau yang lebih di kenal dengan kata seagrass merupakan habitat pantai yang sangat unik. dengan di tumbuhi oleh lamun (golongan macrophyte) yang dapat beradaptasi dengan kondisi pantai yang labil, tumbuhan lamun memebrikan amat sanagt banyak fungsi ekologis bagi organisma yang berasosiasi dengannya. Banyak organisme yang secara ecologis dan biologis sangat tergantung pada keberadaan lamun. Banyak orang awam mengenal kata seagrass sebagai "rumput laut" yang konotasinya ke arah seaweed. Namun jika dirunut lebih jauh tentang kedua tumbuhan ini akan sangat jauh perbedaanya. Sebagai tumbuhan sejati, seagrass merupakan tumbuhan yang mempunyai akar (Ryzome dan serabut akar), batang, daun, bunga dan beberapa spesies berbuah. Berbeda dengan seaweed yang merupakan alga besar (Macro-alga) yang tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Sebagai tumbuhan tingkat tinggi, seagrass mempunyai sistem reproduksi dan pertumbuhan yang khas.
Seperti layaknya padang rumput, seagrass dapat menyebar dengan perpanjangan ryzome (batang akar). Penyebaran seagrass terlihat sedikit unik dengan pola penyebaran yang sangat tergantung pada topografi dasar pantai, kandungan nutrient dasar perairan (substrate) dan beberapa faktor fisik dan kimia lainnya. Kadang terlihat pola penyebaran yang tidak merata dengan kepadatan yang relative rendah dan bahkan terdapat semacang ruang-ruang kosong di tengah padang lamun yang tidak tertumbuhi oleh lamun. Kadang-kadang terlihat pola penyebaran yang berkelompok-kelompok, namun ada juga pola penyebaran yang merata tumbuh hampir pada seluruh garis pantai landai dengan kepadatan yang sedang dan bahkan tinggi.
Berbeda dengan seaweed, yang umunnya sangat memerlukan benda keras di dasar perairan sebagai susbtrat untuk melekat. namun memang ada juga banyak yang tumbuh dan menyebar secara alami dengan substrat dasar yang lunak.
BAB II
TENTANG KOMUNITAS LAMUN
A. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun
Lamunmerupakan tumbuhan berbunga. Sebagai tumbuhan yang memiliki pembuluh, lamun secara struktural dan fungsional memiliki kesamaan dengan tumbuhan daratan.
Lamun memiliki akar rhizoma yang kuat. Akar ini berfungsi sebagai jangkar dan penyerap nutrien dari substrat. Semua lamun memproduksirambut akar, kelimpahan rambut akar ini bervariasi pada setiap spesies.
Lamun memiliki daun-daun tipis memanjang seperti pita yang mempunyai saluran-saluran air. Bentuk daun seperti ini memaksimalkan difusi gas dan nutrien antar daun dan air jug amemaksimalkan proses fotosintesis di permukaan daun.
Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu tmbuhan hanya ada bunga jantan saja atau betina saja. Sistem pembiakan lamun melalui penyerbukan di dalam air., selain itu lamun mampu berkembang biak secara vegetatif melalui akar rhizoma dan pertumbuhan batang tegak baru.
B. Klasifikasi dan Sebaran Lamun
Di Indonesia sampai saat ini tercatat ada 12 spesies lamun. Kedua belas jenis lamun ini tergolong pada tujuh genus. Ketujuh genus ini terdiri dari tiga genus dari famili Hidrocharitaceaeyaitu Enhalus, Thalassia dan Halophila dan empat genus dari famili Potamogetonaceae yaitu Syringodium, Cymodocea, Halodule dan Thalassodendron.
Lamun tumbuh di perairan dangkal di daerah intertidal, namun mereka tampak sangat melimpah di daerah sublitoral. Jumlah spesiesnya lebih banyak terdapat di daerah tropik daripada di daerah ugahari.
Dari 12 genus lamun di dunia, 7 genus merupakan lamun tropis yaitu : Enhalus, Thalassia, Halophila, Halodule, Cymodocea, Syringodium, Thalassodendron dan 5 genus lamun subtropis yaitu : Zostera, Phillospadix, Heterozostera, Posidonia, Amphibolis. Dari 7 genus lamun tersebut, terdapat beberapa yang mampu hidup sapai pada daerah subtropis bahkan di daerah ugahari, yaitu Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium, dan beberapa mampu hidup terbatas hanya pada daerah subtropisyaitu Cymodocea nodosa, Cymodocea angustata dan Thalassodendron pachirhizum.
C. Komunitas Padang Lamun
Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup dalam daerah atau habitat fisik tertentu, hal tersebut merupakan satuan yang terorganisir sedemikian sehingga komunitas biotik tersebut mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai suatu unit melalui transfer metabolik yang bergandengan.
Ada lima karakteristik yang memebentuk komunitas yang dapat dipelajari dan diukur yaitu :
1. Keanekaragaman jenis.
2. Bentuk dan struktur pertumbuhan.
3. Dominansi.
4. kelimpahan jenis.
5. struktur tropik.
Keanekaragaman adalah suatu keragaman atau perbedaan diantara anggota-anggota suatu kelompok. Suatu populasi mungkin beragam dari struktur umur, fase perkembangan atau dari segi genetik individu-individu penyusunnya. Dalam ekologi, keanekaragaman biasanya mengarah pada keanekaragaman jenis. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman tinggi jika terdapat jenis yang melimpah secara merata. Jika komunitas disusun dari sejumlah kecil jenis yang melimpah maka keanekaragaman jenis dalam komunitas tersebut rendah.
Kemerataan disebut juga sebagai keseimbangan dari komposisi individu tiap jenis. Jika kemerataan mendekati minimum maka dalam komunitas tersebut terjadi dominansi jenis. Sebaliknya jika kemerataan mendekati maksimum maka komunitas tersebut memiliki kondisi yang relatif stabil.
Diantara organisme-organisme pembentuk komunitas, hanya beberapa jenis yang memperlihatkan pengendalian nyata dalam memfungsikan keseluruhan komunitas. Kepentingan organisme dalam komunitas tidak ditentukan oleh posisi taksonominya, tetapi oleh jumlah, ukuran, produksi dan hubungan lainnya. Tingkat kepentingan jenis biasanya dinyatakan dengan indeks dominansi. Jenis dominan mengendalikan struktur dan komposisi jenis dari suatu komunitas dengan mempengaruhi faktor-faktor kimia dan fisika seperti temperatur, ketersediaan cahaya dan nutrien. Hilangnya jenis dominan akan menimbulkan perubahan-perubahan penting, tidak hany apada komunitas biotik tapi berpengaruh juga pada lingkungan fisik.
D. Karakteristik Ekologi Lamun
1. Suhu
Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun (Brouns dan Hiejs 1986; Marsh et al. 1986; Bulthuis 1987). Marsh et al. (1986) melaporkan bahwa pada kisaran suhu 25 – 30°C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35°C.
Pengaruh suhu juga terlihat pada biomassa Cymodocea nodosa, dimana pola fluktuasi biomassa mengikuti pola fluktuasi suhu (Perez dan Romero 1992). Penelitian yang dilakukan Barber (1985) melaporkan produktivitas lamun yang tinggi pada suhu tinggi, bahkan diantara faktor lingkungan yang diamati hanya suhu yang mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas tersebut. Pada kisaran suhu 10¬-35°C produktivitas lamun meningkat dengan meningkatnya suhu.
2. Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar (Zieman, 1986). Ditambahkan bahwa Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 °°/o, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas 24-35 °°/0.
Salinitas juga dapat berpengaruh terhadap biomassa, produktivitas, kerapatan, lebar daun dan kecepatan pulih lamun. Pada jenis Amphibolis antartica biomassa, produktivitas dan kecepatan pulih tertinggi ditemukan pada salinitas 42,5 °°/o. Sedangkan kerapatan semakin meningkat dengan meningkatnya salinitas, namun jumlah cabang dan lebar daun semakin menurun (Walker 1985).
Berbeda dengan hasil penelitian tersebut di atas, Mellors et al. (1993) dan Nateekarnchanalarp dan Sudara (1992) yang melakukan penelitian di Thailand tidak menemukan adanya pengaruh salinitas yang berarti terhadap faktor-faktor biotik lamun.
3. Kekeruhan
Kekeruhan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan lamun karena dapat menghalangi penetrasi cahaya yang dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis masuk ke dalam air. Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan sebagainya.
Erftemeijer (1993) mendapatkan intensitas cahaya pada perairan yang jernih di Pulau Barang Lompo mencapai 400 u,E/m2/dtk pada kedalaman 15 meter. Sedangkan di Gusung Tallang yang mempunyai perairan keruh didapatkan intensitas cahaya sebesar 200 uJ3/m2/dtk pada kedalaman 1 meter.
Pada perairan pantai yang keruh, maka cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun (Hutomo 1997). Hamid (1996) melaporkan adanya pengaruh nyata kekeruhan terhadap pertumbuhan panjang dan bobot E. acoroides.
4. Kedalaman
Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997).
Selain itu, kedalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Brouns dan Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan tertinggi E. acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi. Selain itu di Teluk Tampa Florida ditemukan kerapatan T. testudinwn tertinggi pada kedalaman sekhar 100 cm dan menurun sampai pada kedalaman 150 cm (Durako dan Moffler 1985).
5. Nutrien
Dinamika nutrien memegang peranan kunci pada ekosistem padang lamun dan ekosistem lainnya. Ketersediaan nutrien menjadi faktor pembatas pertumbuhan, kelimpahan dan morfologi lamun pada perairan yang jernih (Hutomo 1997).
Unsur N dan P sedimen berada dalam bentuk terlarut di air antara, terjerap/dapat dipertukarkan dan terikat. Hanya bentuk terlarut dan dapat dipertukarkan yang dapat dimanfaatkan oleh lamun (Udy dan Dennison 1996). Dihambahkan bahwa kapasitas sedimen kalsium karbonat dalam menyerap fosfat sangat dipengaruhi oleh ukuran sedimen, dimana sedimen hahis mempunyai kapasitas penyerapan yang paling tinggi.
Di Pulau Barang Lompo kadar nitrat dan fosfet di air antara lebih besar dibanding di air kolom, dimana di air antara ditemukan sebesar 45,5 uM (nitrat) dan 7,1118 uM (fosfet), sedangkan di air kolom sebesar 21,75 uM (nitrat) dan 0,8397 uM (fosfet) (Noor et al 1996).
Penyerapan nutrien oleh lamun dilakukan oleh daun dan akar. Penyerapan oleh daun umumnya tidak terlalu besar terutama di daerah tropik (Dawes 1981). Penyerapan nutrien dominan dilakukan oleh akar lamun (Erftemeijer 1993).
Mellor et al. (1993) melaporkan tidak ditemukannya hubungan antara faktor biotik lamun dengan nutrien kolom air.
6. Substrat
Lamun dapat ditemukan pada berbagai karakteristik substrat. Di Indonesia padang lamun dikelompokkan ke dalam enam kategori berdasarkan karakteristik tipe substratnya, yaitu lamun yang hidup di substrat lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang (Kiswara 1997). Sedangkan di kepulauan Spermonde Makassar, Erftemeijer (1993) menemukan lamun tumbuh pada rataan terumbu dan paparan terumbu yang didominasi oleh sedimen karbonat (pecahan karang dan pasir koral halus), teluk dangkal yang didominasi oleh pasir hitam terrigenous dan pantai intertidal datar yang didominasi oleh lumpur halus terrigenous. Selanjutnya Noor (1993) melaporkan adanya perbedaan penting antara komunitas lamun dalam lingkungan sedimen karbonat dan sedimen terrigen dalam hal struktur, kerapatan, morfologi dan biomassa.
Tipe substrat juga mempengaruhi standing crop lamun (Zieman 1986). Selain itu rasio biomassa di atas dan dibawah substrat sangat bervariasi antar jenis substrat. Pada Thalassia, rasio bertambah dari 1 : 3 pada lumpur halus menjadi 1 : 5 pada lumpur dan 1 : 7 pada pasir kasar (Burkholder et al. 1959 dalam Zieman 1986).
BAB III
MANFAAT DAN PRODUKTIVITAS LAMUN
A. Manfaat Lamun
Padang lamun memiliki fungsi ekologis dan nilai ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Menurut Nybakken (1988), fungsi ekologis padang lamun adalah:
1. Sumber utama produktivitas primer.
2. Sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus.
3. Penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sediment (trapping sediment).
4. Tempat berlindung bagi biota laut.
5. Tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut.
6. Pelindung pantai dengan cara meredam arus.
7. Penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di dasar perairan.
Nilai ekonomi dan ekologi padang lamun (manfaat ekonomi total), terkait dengan biota yang hidupnya tergantung dengan ekosistem padang lamun sebesar U$ 412.325 per ha per tahun atau 11,3 milyar rupiah per hektar per tahun (Fortes, 1990). Terdapat hingga 360 spesies ikan (seperti ikan baronang), 117 jenis makro-alga, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45 jenis ekinodermata (seperti teripang) yang hidupnya didukung oleh ekosistem padang lamun di Indonesia. Disamping itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan.
B. Produktivitas Lamun
Beberapa peneliti melaporkan bahwa produktivitas primer komunitas lamun mencapai lebih dari 1 kg C/m2/th. Bahkan menurut Mc Roy dan Mc Milan (1977) produktivitas primer untuk spesies – spesies tertentu di daerah yang sangat subur dapat mencapai 6.825 g C/m2/th. Produksi tersebut umumnya bersumber dasar (below ground) dan atas (above ground). Produktivitas primer yang berasal dari dasar, yaitu akar dan rizhoma, memberikan sumbangan yang cukup tinggi yaitu sekitar 2 – 36 % dari total produksi tanaman atau sekitar 10 – 40 % pada padang lamun yang sudah jadi (mature). Demikian pula untuk total biomasanya, komponen dasar bisa memberikan sumbangan sekitar 30 – 75 %.
Sumber : Dari Berbagai Sumber
Rantai Makanan Pada Terumbu Karang
A. Pengertian Terumbu Karang
Terumbu Karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis kelas Anthozoa yang memilikiTentakel. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua Subkelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang keduanya dibedakan secara asal-usul, Morfologi dan Fisiologi. Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut Polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Terumbu karang merupakan habitat bagi berbagai spesies tumbuhan laut, hewan laut, dan mikroorganisme laut lainnya yang belum diketahui. Oleh karenanya di hasilkan rantai makanan pada ekosistem terumbu karang yang akan di jelaskan pada blog ini.
B. Fototsintesa Karang
Karang berfotosintesis dengan bantuan alga dan sinar matahari. Proses fotosintesis oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:
Ca(HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO2
Fotosintesis oleh algae yang bersimbiosis membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiose dengan zooxanthellae. Hasil dari fotosintesis berguna untuk hewan-hewan yang hidup pada ekosistem terumbu karang tersebut.
C. Indeks Mortalitas Karang
Gambar di atas merupakan Indeks mortalitas karang. Tingkat kematian karang terendah terdapat di stasiun Coral garden (0,141), dan tertinggi pada stasiun Katupat (0,551) dan stasiun Mini Canyon (0,536). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan karang hidup menjadi karang mati cukup signifikan di stasiun Katupat dan Mini canyon.
Data diatas dapat disimpulkan bahwa proses rantai makanan banyak terjadi di stasiun yang angkanya paling kecil.
D. Rantai makanan
Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivora-carnivora-omnivora). Pada setiap tahap pemindahan energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang tersedia.
E. Gambar rantai makanan pada ekosistem terumbu karang
Penjelasan rantai makanan pada ekosistem terumbu karang diatas yaitu :
1. Sinar matahari : berperan sangat penting dalam proses fotosintesis karang.
2. Phytoplankton, zooxanthalae, rumput laut, alga merah : berperan sebagai produsen utama dalam proses rantai makanan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang.
3. Zooplankton, larva invertebrate, ikan kecil, landak laut, bivalves, spons dan lain-lain : berperan sebagai konsumen tingkat I yang memakan phytoplankton, rumput laut, alga merah dan zooxhanthalae.
4. Molusca, crustasea, tigerfish, lobster, ikan-ikan sedang ( pemangsa konsumen tingkat I) : berperan sebagai konsumen tingkat II memangsa larva invertebrate, ikan kecil, zooplankton.
5. Ikan hiu dan ikan-ikan karnivor lainnya (pemangsa konsumen tingkat II) : berperan sebagai konsumen tingkat III (tingkat tinggi) yang memakan ikan-ikan sedang, lobster, molusca, crustacean dan lain-lain.
6. Decomposer, bakteri dan fungi : berperan sebagai pengurai dari semua mahluk hidup yang telah mati di ekosistem terumbu karang.
Langganan:
Postingan (Atom)